Langit malam yang tadinya hitam kelam, kini memerah, yang sepertinya
menandakan pertukaran malam menjadi pagi. Langkah jarum jam seakan
terdengar begitu keras pada malam menjelang pagi itu. Yang kemudian
mengusik dan mengganggu ku. Seperti ingin memberi tahu kalau,
“sebentar lagi langkahku akan berhenti pada angka 4, tapi kenapa
matamu masih menatap langit yang memiliki 3 kotak vertikal dan 4 kotak
horizontal yang di sekitarnya tak ada hal yang sepertinya begitu menarik
untuk dilihat. Tak ada bulan atau bintang di langit itu, hanya seekor
laba-laba tua dengan sarangnya yang tampak begitu tebal. Bukan hal
menarik yang mungkin bisa membuatmu terjaga hingga pagi. Hahahaha…”
Aku seperti merasa mendengar semua ocehan dan cemoohan mereka, lalu aku seakan berargumen dengan mereka,
“apa pedulimu jam dinding?, mengapa kau tidak diam saja dan melakukan
tugas mu untuk menjalankan waktu agar tetap berputar. Dan kau laba-laba
tua, kenapa kau terus memandangiku dengan matamu yang banyak itu,
kenapa kau tidak mengurus urusan mu sendiri, atau mungkin kau lebih baik
mengganti sarangmu yang sudah tampak lusuh”
Lalu dengan lantang sepertinya laba-laba itu berkata padaku
“memang kamu itu siapa untuk aku perhatikan, jangan salahkan mataku
yang lebih dari satu, bukan berarti aku selalu memperhatikanmu, aku
punya banyak hal untuk aku lakukan dari sekedar memperhatikan mu. Atau
lebih baik dari sekedar memikirkan seorang wanita di luar sana yang
mungkin tidak sedang memikirkanmu, atau bahkan sedang tertawa senang
entah dengan siapa”
Sindirannya begitu tajam menusukku. Cemoohannya begitu membodohkanku.
Lalu dengan nada yang tak mau kalah, aku kembali bersuara pada mereka.
“memangnya kalian yang hanya binatang dan benda mati tahu apa tentang hati, tahu apa tentang cinta. Ini bukan hal yang mudah!”
“jika kamu sadar kalau ini bukan hal yang mudah, kenapa tidak menjadi
egois saja dan biarkan cinta itu berakhir di tengah jalan, atau
kebingungan di persimpangan”
“kalian memang tidak akan pernah tahu. Jika saja cinta itu mudah,
panglima tian feng mungkin tak harus reinkarnasi hingga ribuan kali
untuk menemukan sejatinya. Mungkin romeo juga tak harus mati karena
meminum racunnya, seperti halnya jack dawson yang terkubur di dasar
atlantis demi menjaga hangatnya. Atau mungkin Davey Jones yang harus
mencabut jantungnya sendiri dan menempatkannya dalam peti untuk janji
abadinya”
Kemudian tak ada lagi suara yang terdengar untuk beberapa saat hingga akhirnya suara musik yang begitu keras mengejutkanku.
“katakan pada mama, cinta bukan hanya harta dan tahta dan pastikan pada semua, hanya cinta yang sejukkan dunia”.
Suara itu terdengar seperti lagu yang sering ku dengar. Tapi dari
mana datangnya?, suaranya begitu keras, sepertinya begitu dekat. Aku
membuka pintu, berlari ke jalan mencari suara itu. Tapi tak ada suara
apapun di luar. Lalu aku kembali masuk ke dalam, dan lagi suara itu
masih keras terdengar. Entah gila atau sinting, tapi aku melihat dewa
bernyanyi di kamarku. Mereka hanya sebuah poster di balik pintu.
“aku sudah gila…” . bicaraku pada diri sendiri.
“kamu belum gila kawan, dan kamu gak perlu takut. Cinta tak begitu sulit, juga tak harus selalu tentang materi”
Suaranya terdengar besar dan berat, dan aku tahu kalau itu suaranya ahmad dhani yang berbicara kepadaku.
“tapi itu kan lagu dari album yang lama, apa kau tahu kalau keturunan
siti nur baya yang sekarang jauh berbeda dari moyangnya, mereka tak
lagi mencintai hasan basri, mereka lebih cinta pada yang pasti. Yang
pasti mapan, yang pasti tampan. Dan tak bisa dibohongi, bahkan seorang
penyanyi yang bernyanyi hanya dengan 3 kata untuk keseluruhan lagunya
juga tau, kalau cinta juga perlu materi, dan sudah pasti, tanpa perlu
survey lagi, kalau 11 dari 10 wanita pasti setuju akan hal itu. aku
seperti merasa apa yang terasa, ketika rasa yang telah lama dikecap kini
kian memudar, seperti hambar. Menunggu yang sudah pasti berlalu atau
menanti yang tak kunjung pasti”.
Lalu botol-botol yang tadinya penuh kini menjadi kosong setelah ku tenggak, seperti ingin ikut bercerita.
“sudahlah. Non sense itu semua. Buat apa kamu merasakan yang sudah
pudar dan hambar. Kamu tidak perlu menanti yang tidak pasti, mari ikut
denganku, kita nikmati malam ini”
“lalu apa sebenarnya yang ada?, ketika yang dinanti bukanlah pasti,
yang terasa hanya asa yang tak ter-asah, ternyata mimpi yang tak pernah
mampir dan bayang yang tak lagi datang.
Lalu apa yang sebenarnya ada?, yang tersisa hanya kiasan pada
kertas-kertas lusuh tak ber-tuan, yang bercerita pada bayang dan mimpi
yang sedang menanti hal yang tak pasti”.
Botol-botol itu juga tak mampu menjawab tanyaku. Hah, lagi, ku
hembuskan nafas bersamaan dengan asap yang keluar melalui mulut dan
hidungku.
“ada apa denganmu?”
Suara yang kembali membuatku berpikir kalau aku mungkin sudah gila.
“aku disini, di atasmu”
Ternyata asap yang ku hembuskan tadi berkumpul dan mengepul membentuk
subuah tanda tanya. Dengan mengabaikan semua pemikiran tentang aku yang
mungkin sudah mulai gila, aku bercerita padanya.
“cinta, kemana dia bawa pergi hatiku?, aku hanya berharap dia tidak
terlalu jauh, yang akhirnya membuatnya jenuh, dan kemudian meninggalkan
hatiku sendiri, tak tersentuh”.
“memangnya cintamu ada dimana?
“aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu tentang perbedaan yang akhirnya membuat kami jauh”
“banyak rasa yang sebenarnya sama jika saja kalian manusia mau
sedikit merasa. Dengan tidak hanya melihat warna kulit dan harum
buahnya. Sama seperti perbedaan yang kalian miliki, yang jika terlihat,
sungguh begitu beragam. Tapi jika saja kalian mau merasa, ternyata
banyak rasa yang sama, bahkan ketika kalian sedang menelan perbedaan”
“itu dia yang membuat aku tidak mengerti. Aku seperti dihadapkan pada
sebuah rangkaian puzzle raksasa bermotif hati yang telah tersusun dan
kemudian dibongkar, mungkin sudah puluhan kali dilakukan. Hingga pada
satu saat yang mungkin kesekian ratus kalinya, aku merasa sepertinya ada
bagian yang bukan pada tempatnya, atau bisa jadi hilang.
Meski tak lelah terus mencari dan mencoba menempatkannya kembali, tapi
tetap saja kelihatannya lain, tak seperti yang biasa dilakukan hingga
ratusan kali. Hingga pada satu titik dimana kamu merasa sepertinya ini
sudah cukup, mungkin hanya bosan dengan ini, ingin sesuatu yang lain.
Dan akhinya membiarkan puzzle itu menjadi susunan yang bingung dan tak
berujung”.
“mungkin memang harus seperti itu kawan. Mungkin memang harus
ditinggalkan dan biarkan menjadi rangkaian susunan yang tak berujung”
“tapi kenapa harus seperti ini?, apa yang salah?,siapa yang harus disalahkan?”
“tak ada yang salah dan harus disalahkan. Ini sama seperti bunga yang
ingin mekar, mengizinkan kumbang dan angin menghisap dan menebar
putiknya, untuk menjadi sempurna pada waktunya. Lalu siapa yang nantinya
harus disalahkan jika bunga gugur sebelum berkembang?. apa kumbang yang
berlebih menghisap sarinya?, atau angin yang terlalu jauh menebarnya?.
coba jawab tanya itu”
Otakku seperti memberi perintah pada mulutku untuk menjawab tanya
itu, tapi sepertinya aku tak mampu. Lalu tanyaku kembali pada kepulan
asap yang keluar dari mulutku.
“hal apa yang mampu membuat kita begitu bersedih?. apa saat kita
melihat malaikat yang tak bisa terbang karena sayapnya yang patah, apa
cinta yang gugur sebelum berkembang. Atau ketika malaikat pantas untuk
mati, haruskah kita menangis untuknya”.
“bersedih dan menangislah saat kau tahu tak ada lagi cinta dihatimu.
Bahkan jika itu hanya cinta untuk membenci. Lalu, masih adakah cinta di
hatimu?”
“aku tak lagi tahu. Hanya berharap pada waktu, memohon untuk tidak
segera berlalu, dan memutar kembali yang lalu, di saat yang sama aku
berkata janji pada bunga untuk tidak membiarkannya gugur sebelum
berkembang, dan melarang angin untuk bertiup terlalu kencang agar tak
membuat sarinya terbang menghilang, dan sempurna saat berkembang.
Mungkin benar apa yang dikatakan jam dinding tadi kepadaku, kenapa
aku tidak menjadi egois saja, menjadi angkuh dalam ringkihnya cintaku
yang sepertinya masih haus akan pelukan dan sanjungan. Tapi sekuat
tenaga akan ku coba menepis semua lirik lagu yang dia mainkan untukku.
Aku akan melangkah sombong di antara pengemis-pengemis hati yang lapar
akan kasih, sementara aku sedang membohongi diri sendiri bahwa aku masih
mencari cinta yang ingin memberi”
ketika aku begitu senang membicarakan tentang ego ku. Tiba-tiba aku
dibentak, sangat menghentak karena ego yang coba memanipulasi
pikiranku, untuk menjadikan ini sebagai kemenanganku sendiri. Dengan
keterpaksaan kebahagiaan yang dengan segala cara coba untuk dipalsukan
agar semua terlihat seakan abadi.
Yang ternyata bentakan itu adalah suaraku sendiri, tapi tidak dari mulutku.
“hey. Ada apa denganmu yang merupakan wujud nyata dari aku. Kenapa
kau biarkan ego meracuniku, aku hampir sekarat dalam tubuhmu karena ego
yang kau biarkan menyerangku. Ada apa denganmu, dulu kita tak seperti
ini!”
“hey kamu yang merupakan wujud tidak nyata dari aku. kali ini beri
aku maaf yang lebih besar dari tempat cintaku bersandar. Salahkan aku
akan segalanya. Beri aku makian akan kemunafikan tentang semua hal yang
begitu ku inginkan. Lalu biarkan aku pergi, tersudut dan terdampar.
Karena aku bahkan tak pantas memungut cinta yang terpapar. meski harus
menggerutu dan menggigit lidahku, semua tak akan kembali seperti dulu.
Dan jika pagi nanti cintaku kembali kesini, tolong sampaikan maafku akan
seribu rasa yang hambar di tambah seribu warna yang pudar dan seribu
janji yang ingkar. Tapi sampaikan juga padanya, bahwa hati yang
dibawanya, akan abadi untuk cinta”
Setelah 3 jam pertengkarannya dengan semua benda mati yang
dijadikannya hidup, kini pagi pun kembali bersama cinta dan separuh
hatinya yang sudah mati. Cinta pun menangis dengan menggenggam separuh
hati yang akan abadi.
by: Arif Leon
No comments:
Post a Comment